Sebelas
Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif
Disarikan
dari CEP’s Eleven Principles of Effective
Character Education By Tom Lickona, Ed.D., Eric Scaps, Ph.D., dan Catherine
Lewis, Ph.D.
1. Mengembangkan nilai-nilai
etika inti dan nilai-nilai kinerja penunjang sebagai fondasi karakter yang
baik.
Pendidikan
karakter berpegang pada keyakinan bahwa dengan berbagi secara luas, pilar
utama, nilai-nilai etika inti─seperti peduli, jujur, adil, tanggungjawab, dan hormat pada orang
lain dan diri-sendiri─dibarengi dengan nilai-nilai kinerja penunjang─seperti rajin, tekun, etika-budi luhur yang kuat, dan kegigihan─membentuk
basis karakter yang baik. Sekolah yang memiliki komitmen terhadap pengembangan
karakter memegang nilai-nilai ini, dan mendefinisikan nilai-nilai itu dalam
istilah-istilah perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah, memodelkan
nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai basis
hubungan kemanusiaan di sekolah, menghargai manifestasinya di sekolah dan
masyarakat, dan mengupayakan seluruh warga sekolah bertanggungjawab terhadap
standar-standar tingkah-laku yang konsisten dengan nilai-nilai inti tersebut.
2. Mendefinisikan “karakter”
secara komprehensif meliputi berfikir, berolah-rasa, dan berperilaku.
Karakter yang baik
meliputi pemahaman, peduli tentang, dan berperilaku sejalan dengan nilai-nilai
etika inti. Oleh karena itu pendekatan holistik terhadap pengembangan karakter
berupaya mengembangkan aspek-aspek kognitif, emosional, dan perilaku kehidupan
moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mengkaji dan mendiskusikannya,
mengamati model-model perilaku, dan memecahkan masalah yang melibatkan
nilai-nilai tersebut. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti itu dengan
mengembangkan keterampilan-keterampilan empati, membentuk hubungan-hubungan
kepedulian, membantu menciptakan masyarakat, mendengarkan cerita-cerita
ilustratif dan yang memberi inspirasi, dan melakukan refleksi terhadap
pengalaman-pengalaman hidup. Dan mereka belajar bertindak berdasarkan nilai-nilai
inti dengan mengembangkan perilaku-perilaku prososial (misalnya,
pengkomunikasian perasaan-perasaan, pembelajaran aktif,
keterampilan-keterampilan membantu) dan dengan secara berulang-ulang
mempraktekkan perilaku-perilaku ini, khususnya dalam konteks hubungan-hubungan
(misalnya, melalui tutorial lintas-usia, pemediasian konflik, pelayanan kepada
sekolah dan masyarakat). Ketika anak-anak tumbuh karakter mereka, mereka
mengembangkan pemahaman yang semakin tajam terhadap nilai-nilai inti, suatu
komitmen yang semakin dalam terhadap kehidupan sesuai dengan nilai-nilai itu,
dan kemampuan dan kecenderungan lebih kuat untuk berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai inti itu.
3. Menerapkan pendekatan
komprehensif, direncanakan dengan sengaja, dan proaktif dalam pengembangan
karakter.
Sekolah-sekolah
yang memiliki komitmen terhadap pengembangan karakter melihat diri mereka
sendiri melalui kaca mata moral untuk mengases sesungguhnya seberapa jauh
segala sesuatu di sekolah berpengaruh terhadap karakter siswa. Pendekatan komprehensif
menggunakan seluruh aspek persekolahan sebagai kesempatan-kesempatan untuk
pengembangan karakter. Ini termasuk apa yang sering kali disebut hidden curriculum (misalnya,
upacara-upacara sekolah, hubungan-hubungan siswa dengan guru, proses
pembelajaran, asesmen pembelajaran, kebijakan disiplin sekolah), academic curriculum (misalnya, mata
pelajaran – mata pelajaran pokok), dan extracurricular
programs (misalnya, olah raga, proyek-proyek pelayanan kepada masyarakat).
Program-program pendidikan “stand alone” dapat merupakan langkah-langkah awal
yang berguna namun belum merupakan substitusi yang memadai untuk suatu
pendekatan holistik yang mengitegrasikan pengembangan karakter ke dalam setiap
aspek kehidupan sekolah. Akhirnya, daripada hanya sekedar menunggu datangnya
kesempatan, dengan suatu pendekatan sengaja dan proaktif, sekolah dapat
mengambil langkah terencana untuk pengembangan
karakter, apabila mungkin, agar efektif,
memanfaatkan praktek-praktek terbaik
menurut hasil penelitian.
4. Menciptakan komunitas
sekolah yang peduli.
Sekolah yang
memiliki komitmen terhadap karakter berusaha keras menjadi dunia dalam bentuk
kecil dari masyarakat yang sopan, peduli, jujur, dan adil. Sekolah itu mewujudkan
iklim seperti ini dengan menciptakan suatu komunitas yang membantu seluruh
warganya membentuk ikatan-ikatan kepedulian satu dengan yang lain. Ini termasuk
pengembangan hubungan-hubungan kepedulian
antar siswa (di dalam dan lintas
tingkat kelas), di antara guru, antara siswa dan guru, dan antara guru dan
keluarga. Hubungan-hubungan kepedulian ini akan membantu tumbuh dua-duanya
keinginan untuk belajar dan keinginan untuk menjadi orang yang baik. Dalam
suatu masyarakat sekolah yang peduli, kehidupan keseharian kelas dan seluruh
bagian lingkungan sekolah yang lain (misalnya, kantin sekolah, tempat bermain,
ruang guru) memberi inspirasi tumbuhnya iklim peduli dan menghormati orang
lain.
5. Tersedianya
kesempatan-kesempatan bagi siswa untuk tindakan moral.
Baik dalam ranah
etika maupun ranah intelektual, siswa merupakan pebelajar konstruktif; mereka
belajar dengan berbuat. Untuk mengembangkan karakter yang baik, mereka membutuhkan
banyak kesempatan yang bervariasi untuk
menerapkan nilai-nilai seperti rasa haru, tanggung jawab, dan adil dalam
interaksi keseharian baik di sekolah maupun di luar sekolah. Lewat bergelut
dengan tantangan-tantangan kehidupan nyata (misalnya, bagaimana membagi satu
tugas dalam suatu kelompok kooperatif, bagaimana mencapai konsensus dalam suatu
rapat kelas, bagaimana melaksanakan
proyek praktek kerja industri) dan melakukan refleksi atas
pengalaman-pengalaman ini, siswa mengembangkan pemahaman praktis atas
kebutuhan-kebutuhan kerja sama dengan orang lain. Melalui pengalaman-pengalaman
moral yang berulang, siswa mengembangkan dan mempraktekkan
keterampilan-keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan perilaku yang membentuk
perilaku berkarakter.
6.
Memasukkan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang
menghormati semua siswa, mengembangkan karakter mereka, dan membantu mereka
untuk berhasil.
Apabila siswa
berhasil dalam tugas di sekolah dan merasakan suatu perasaan kompetensi dan
otonomi, mereka lebih mungkin merasa dihargai dan diperhatikan sebagai pribadi.
Karena siswa datang ke sekolah dengan keterampilan-keterampilan, minat dan
kebutuhan berbeda, suatu program akademik yang membantu seluruh siswa berhasil akan
menjadi salah satu program akademik dimana konten akademik dan pedagogi cukup
berhasil dijalin untuk melibatkan seluruh siswa. Ini berarti menyediakan suatu
kurikulum yang menarik dan bermakna bagi siswa. Suatu kurikulum bermakna
memasukkan cara-cara mengajar dan belajar aktif seperti pembelajaran
kooperatif, pendekatan-pendekatan pemecahan masalah, dan proyek-proyek berbasis-pengalaman. Pendekatan-pendekatan ini meningkatkan
otonomi siswa dengan menarik minat siswa, memberi siswa kesempatan-kesempatan
berfikir kreatif dan menguji ide-ide mereka.
Di samping itu,
pendidik karakter yang efektif mencari interaksi-interaksi alamiah antara
konten akademik yang ingin mereka ajarkan dan kualitas-kualitas karakter yang
ingin mereka kembangkan. “Kaitan-kaitan
karakter” ini dapat terwujud dalam berbagai bentuk, seperti penyampaian
issu-issu etika terkini dalam sains, mengangkat praktek-praktek dan
keputusan-keputusan sejarah dalam debat, dan mendiskusikan nilai-nilai karakter
dan dilemma etika dalam karya sastra. Apabila guru mengedepankan dimensi
karakter dari kurikulum, mereka memperkaya relevansi mata pelajaran dengan
minat dan pertanyaan alamiah siswa, dan dalam prosesnya, meningkatkan
keterlibatan dan hasil belajar siswa. Apabila guru mempromosikan nilai-nilai
kinerja seperti keingintahuan intelektual, berfikir kritis, dan ketekunan, siswa
akan dapat lebih baik melakukan kerja terbaik mereka.
7. Berupaya dengan penuh
kesungguhan untuk membantu perkembangan motivasi-diri siswa.
Karakter sering
didefinisikan sebagai “melakukan sesuatu yang baik ketika tidak ada seorang pun
yang melihat.” Alasan etika terbaik yang melandasi untuk mematuhi aturan
perundangan yang berlaku adalah menghormati hak-hak dan kepentingan-kepentingan
orang lain─bukan takut dihukum atau keinginan memperoleh pujian. Demikian juga halnya, kita ingin siswa
menjadi orang yang santun terhadap orang lain karena keyakinan dari dalam diri
siswa bahwa kesantunan adalah baik dan keinginan menjadi orang yang santun.
Pertumbuhan dalam motivasi-diri merupakan proses perkembangan sehingga sekolah
yang memiliki program karakter hendaknya berhati-hati tidak malah merusak motivasi
intrinsik dengan penekanan berlebihan pada insentif ekstrinsik. Sekolah ini juga bekerja sama dengan siswa
untuk mengembangkan pemahaman mereka terhadap aturan-aturan, kesadaran mereka
atas bagaimana mempengaruhi orang lain, dan kekuatan-kekuatan karakter─seperti
kontrol-diri, menerima pandangan, dan keterampilan-keterampilan penyelesaian
konflik─yang
dibutuhkan untuk berperilaku di masa yang akan datang.
8.
Melibatkan seluruh staf, guru dan pegawai, sebagai masyarakat
belajar dan moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan
berusaha untuk mentaati nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan
siswa.
Seluruh staf
sekolah─guru, pegawai administrasi, guru bimbingan dan konseling, pengelola
kantin sekolah, dan lain-lain─perlu dilibatkan dalam pembelajaran, diskusi, dan menjadikan milik
mereka sendiri dan upaya pendidikan karakter. Pertama-tama dan yang terpenting,
para anggota staf menerima tanggung jawab ini dengan memodelkan nilai-nilai
inti dalam perilaku mereka sendiri dan
memanfaatkan segala kesempatan lain yang ada untuk menanamkan pendidikan
karakter.
Kedua,
nilai-nilai dan norma-norma yang sama yang mengendalikan kehidupan siswa adalah
sama dengan yang mengendalikan kehidupan kolektif seluruh staf dalam masyarakat
sekolah itu. Seperti siswa, orang dewasa tumbuh dalam perilaku berkarakter
dengan bekerja secara berkolaborasi satu dengan yang lain dan berperan serta
dalam pengambilan-keputusan yang memperbaiki kehidupan kelas dan sekolah. Mereka
juga mendapat manfaat dari pengembangan staf yang diperluas dan
kesempatan-kesempatan untuk mengamati kolega dan kemudian menerapkan
strategi-strategi pengembangan karakter dalam kerja mereka sendiri dengan
siswa.
Ketiga, sekolah
yang menyediakan waktu untuk melakukan refleksi staf pada masalah-masalah moral
membantu untuk memastikan bahwa kegiatan ini berjalan dengan penuh integritas.
Melalui rapat guru dan kelompok-kelompok pendukung yang lebih kecil, staf yang
reflektif secara teratur menanyakan pertanyaan seperti: Pengalaman-pengalaman
pembangunan karakter apa di sekolah yang telah diberikan kepada siswa?
Pengalaman-pengalaman moral negatif apa (misalnya, tindakan kejam terhadap
teman, kecurangan siswa, orang dewasa yang tidak menghormati siswa) yang
akhir-akhir ini gagal ditangani? Dan pengalaman-pengalaman moral penting apa
(misalnya, pembelajaran kooperatif, pelayanan kepada sekolah dan masyarakat,
kesempatan-kesempatan untuk belajar tentang dan berinteraksi dengan orang yang
berasal dari latar belakang ras, etnis, dan status sosial berbeda) yang
sekarang ditiadakan sekolah? Praktek-praktek sekolah apa yang tidak sejalan
dengan nilai-nilai inti yang dianut dan keinginan untuk mengembangkan
masyarakat sekolah yang peduli? Refleksi atas masalah-masalah ini merupakan
kondisi yang tidak dapat dihindarkan untuk pengembangan kehidupan moral
sekolah.
9.
Membantu perkembangan kepemimpinan moral bersama dan dukungan jangka
panjang terhadap inisiatif pendidikan karakter.
Sekolah-sekolah
yang terlibat dalam pendidikan karakter yang efektif memiliki pemimpin
(misalnya, kepala sekolah, guru pembina, pengawas, atau kelompok kecil individu
yang memiliki integritas) yang memandegani upaya itu. Setidak-tidaknya pada
awalnya, banyak sekolah dan wilayah membentuk panitia pendidikan karakter─yang
memiliki tanggung jawab untuk melakukan perencanaan, implementasi, dan
dukungan. Setahap demi setahap, badan pengendali sekolah atau wilayah dapat
melaksanakan fungsi-fungsi panitia itu. Pimpinan juga melakukan langkah-langkah
untuk memberi dukungan jangka-panjang (misalnya, pengembangan staf yang
memadai, waktu untuk merencanakan) atas inisiatif pendidikan karakter,
termasuk, idealnya, mendukung pada level wilayah dan level yang lebih tinggi.
Di samping itu, di sekolah siswa menerima peran-peran pengembangan yang sesuai
dalam mengawal upaya pendidikan karakter melalui berbagai kegiatan, seperti
musyawarah kelas, OSIS, mediasi sejawat, tutor lintas-usia, klub-klub
pelayanan, dan inisiatif-inisiatif yang datang dari siswa sendiri.
10. Melibatkan anggota
keluarga dan masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan-karakter.
Sekolah yang
merangkul keluarga dan memasukkan mereka dalam upaya-upaya pembangunan-karakter
amat memperkaya kesempatan mereka untuk berhasil dengan siswa. Mereka
menggunakan segala daya upaya dalam setiap tahap untuk melakukan komunikasi
dengan keluarga─melalui selebaran, e-mail, telepon, pertemuan orang tua murid─tentang sasaran-sasaran
dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter. Membangun
kepercayaan yang lebih besar antara rumah dan sekolah. Orang tua diwakili dalam
panitia pendidikan karakter. Sekolah-sekolah ini juga melakukan upaya khusus
untuk mendekati kelompok orang tua yang mungkin tidak merasa menjadi bagian
dari komunitas sekolah. Akhirnya, sekolah dan keluarga memperkaya keefektifan
kemitraan mereka dengan merekrut bantuan dari masyarakat yang lebih luas
(yaitu, usahawan, organisasi remaja, lembaga keagamaan, pemerintah, dan media)
dalam mempromosikan pengembangan karakter.
11.
Mengases karakter sekolah, staf sekolah yang berfungsi sebagai
pendidik karakter, dan seberapa jauh siswa menafestasikan pendidikan karakter.
Pendidikan
akrater yang efektif harus memasukkan upaya untuk mengases kemajuan, baik
menggunakan metode kualitatif maupun kuantitatif. Tiga jenis outcome besar yang
memerlukan perhatian adalah:
(a)
Karakter sekolah: Seberapa jauh sekolah menjadi masyarakat yang peduli? Ini dapat
diases, misalnya, dengan survai yang menanyakan siswa untuk menunjukkan seberapa
jauh mereka setuju dengan pernyataan-pernyataan seperti, “Siswa di sekolah ini
(di kelas) saling menghormati dan peduli satu sama lain,” dan “Sekolah (kelas)
ini seperti keluarga.”
(b)
Staf sekolah tumbuh sebagai pendidik karakter: Seberapa jauh staf sekolah─guru, pegawai administrasi,
personil penunjang─telah
mengembangkan pemahaman terhadap apa yang dapat mereka
lakukan untuk membantu perkembangan pendidikan karakter? Komitmen personil
untuk melakukan sesuatu sesuai dengan rincian tugas yang ditentukan?
Keterampilan-keterampilan untuk melaksanakan tugas itu? Kebiasaan-kebiasaan
yang konsisten untuk bekerja sesuai kemampuan-kemanpuan mereka yang berkembang
sebagai pendidik karakter?
(c)
Karakter siswa: Seberapa jauh siswa
memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
etika inti? Sebagai misal, sekolah dapat mengumpulkan data tentang berbagai
perilaku berkaitan dengan karakter: Apakah kehadiran siswa telah meningkat?
Perkelahian dan tindakan menskors turun? Perusakan menurun? Pemakaian narkoba
hilang? Sekolah juga dapat mengases tiga domain karakter (pengetahuan,
perasaan, dan perilaku) melalui kuesioner anonim yang mengukur pertimbangan
moral siswa (misalnya, “Apakah salah menyontek saat ulangan?”), komitmen moral
(“Apakah kamu akan menyontek jika kamu yakin tidak akan ketahuan?”) dan
melaporkan diri sendiri perilaku moral (“Berapa kali kamu telah menyontek saat
ulangan atau mengerjakan tugas dalam satu tahun terakhir?”). Kuesionair seperti
itu dapat diadministrasikan pada awal sekolah memiliki inisiatif pendidikan
karakter untuk mendapatkan data dasar dan diadministrasikan lagi pada suatu
saat di masa yang akan datang untuk mengases kemajuan.
Surabaya, 20
Juni 2010
Disarikan oleh
Prof. Dr.
Mohamad Nur
terima kasih artikelnya sangat membantu, kebetulan kami juga bergerak di bidang pengembangan aplikasi khususnya untuk absensi sekolah berbasis sms gateway terhubung langsung dengan HP orang tua, cocok juga untuk absensi pegawai kantor, untuk lebih jelasnya silahkan hubungi website kami www.schoolmantic.com
BalasHapusmatursembah nuwun, pak prof. sangat bermanfaat.
BalasHapusTerima kasih Prof. Dr. Mohamad Nur, sangat membantu.
BalasHapus